Tingginya tingkat persaingan bisnis belakangan memunculkan sederet persoalan baru. Salah satunya praktik persaingan bisnis yang menghalalkan segala cara semata-mata demi meraup untung sebesarnya. Tak sedikit pelaku bisnis yang menjalankan usaha dengan cara menipu, penimbunan (ihtikâr), dan kartel. Mereka tak sadar apa yang dilakukan itu keluar dari etika Islam karena merugikan pelaku bisnis lain serta konsumen. Lalu, seperti apa Islam memandang persaingan bisnis?
Sedari awal, Islam memberi tuntunan kepada umatnya mengenai segala hal, termasuk aktivitas muamalah dalam keseharian. Seperti aturan jual beli, pinjaman, sewa menyewa, dan jenis muamalah lainnya. Para ahli fiqih merumuskan semua aturan tadi dalam fiqh at at-mu’âmala dengan berbagai mazhab, untuk menjawab semua persoalan waqi’iyyah yang berkembang di masyarakat.
Merujuk pada fiqih kontemporer, persaingan bisnis yang tidak sehat itu adalah persaingan bisnis yang tidak sesuai syariat karena ada unsur penipuan (ghurur), barang cacat (al ghisy), dan batil. Untuk mencegah persaingan bisnis tidak sehat, Rasulullah membentuk komisi pengawas perdagangan yang tugasnya mengontrol pelaku usaha. Para muhtasib atau pengawas dari lembaga hisbah tadi melakukan inspeksi ke pasar untuk mengontrol harga barang, mengantisipasi kenaikan harga akibat penimbunan, dan mengontrol penipuan barang yang diperjualbelikan di pasar.
Umar bin Khattab juga pernah memerintahkan lembaga hisbah untuk mengecek takaran, timbangan, dan kualitas barang dagangan. Dengan terbentuknya lembaga hisbah, tindakan melenceng seperti penipuan, penimbunan, monopoli, persekongkolan antar pelaku bisnis, dan kejahatan lain bisa dibongkar. Lalu, pelakunya akan diberi hukuman sesuai kebijakan pemerintah.
Sejalan dengan syariah Islam serta mewujudkan persaingan bisnis sehat di negara yang mayoritas beragama Islam ini, Pemerintah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengatur persaingan bisnis agar tidak membawa kerugian besar pada masyarakat. Kebijakan itu tertuang dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Praktek persaingan usaha tidak sehat itu bertentangan dengan nilai dan prinsip dasar yang dijunjung tinggi dalam Islam, yaitu kejujuran (ash-shidqu), kepercayaan dan memenuhi janji, tolong-menolong (at-ta’āwun), keadilan (al-‘adālah), dan keberlangsungan (al-istiqāmah). Bagi seorang Muslim, menjalankan bisnis bukan hanya semata untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, melainkan perlu dilandasi nilai ibadah kepada Allah.
Mereka yang menjalankan bisnis sesuai syariat dan etika bisnis dalam Islam akan mendapat keberkahan di dunia maupun di sisi Allah. Beberapa etika bisnis menurut pandangan Islam diantaranya jujur, mampu menjaga kepercayaan masyarakat (amanah), tidak menipu, selalu menepati janji, bermurah hati atau sopan kepada rekan bisnis dan pembeli, dan tidak terlena dengan dunia sehingga melalaikan urusan akhirat.
Kesimpulannya, persaingan sebetulnya hal yang wajar saja dalam konteks bisnis. Persaingan bisa memicu pelaku bisnis agar lebih inovatif dalam memberikan produk dan layanan terbaik demi kemaslahatan bersama. Ini yang Islam sebut dengan persaingan bisnis sehat. Sebaliknya, Islam melarang keras persaingan bisnis yang mengakibatkan kerusakan pada mekanisme pasar atau penentuan harga, dan merugikan pihak-pihak yang bersaing, terutama masyarakat umum.