Disrupsi teknologi digital nyatanya turut merubah model bisnis perbankan syariah.
Perubahan besar itu salah satunya bisa Kita lihat dari layanan perbankan tanpa cabang alias branchless banking. Melalui branchless banking, bank syariah menunjukkan keseriusan untuk turut andil menggarap pasar digital.
Mereka berkomitmen Go Digital dengan meluncurkan model bisnis dan inovasi produk / layanan syariah berbasis digital.
Seperti kita tahu, penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z dan Milenial. Data sensus penduduk 2020 dari BPS menyebut, total populasi Gen Z di Indonesia sebanyak 74,93 juta atau 27,94%. Sementara populasi milenial di urutan kedua, yaitu 69.38 juta penduduk atau 25.87%.
Populasi tadi menunjukkan bahwa Indonesia menjadi pasar potensial untuk bisnis digital. Ditambah, mayoritas dari populasi warga Indonesia secara keseluruhan merupakan Muslim.
Bicara soal milenial dan generasi Z, keduanya punya karakteristik dan perilaku yang berbeda dengan generasi di bawahnya. Dalam hal preferensi informasi ataupun akses layanan / produk, milenial cenderung mengandalkan internet serta perangkat mobile yang bisa diakses cepat, mudah, hasilnya realtime, kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kemudahan dan kenyamanan pengalaman user menjadi poin utama untuk bisa meraih pasar digital.
Saat ini nasabah semakin mudah dalam mengakses berbagai layanan dan produk bank syariah digital. Diantaranya ada tabungan syariah, transfer dana, deposito syariah, gadai, pembiayaan syariah, investasi syariah, dan lainnya.
Dari sisi bank, digitalisasi akan berimpact pada produktivitas kerja, dan efisiensi budget bulanan.
Sebuah penelitian mengungkap bahwa tidak ada perbedaan antara preferensi Muslim dengan non-Muslim soal layanan perbankan digital. Artinya, layanan / produk perbankan digital menjadi kebutuhan hampir semua individu.
Untuk itu, tidak ada alasan bagi perbankan digital untuk tidak berinovasi melakukan transformasi digital sebagaimana gencar dilakukan oleh bank konvensional. Kabar baiknya, industri keuangan syariah terus mengalami pertumbuhan beberapa tahun ini. Meski begitu, mereka masih harus berinovasi, mengembangkan model bisnis baru untuk mengejar ketertinggalan dengan bank non syariah dan pemain baru selain bank.
Mengutip gagasan pakar Ekonomi Indonesia, Rhenald Kasali, bahwa ketika platform berubah, maka kehidupan dan bisnis ikut berpindah. Untuk itu, perbankan syariah perlu mengejar ketertinggalan dan gerak cepat melakukan adaptasi terhadap gempuran teknologi digital.
Karena jika tidak, mereka akan kehilangan kepercayaan banyak nasabah. Bahkan, bukan tidak mungkin jika keberadaanya tergantikan oleh para pemain baru yang jauh lebih fleksibel dan mengerti kebutuhan nasabah milenial.
Teknologi Machine Learning Percepat Inklusi Keuangan
Kehadiran pemain baru seperti fintech yang fokus pada layanan simpan pinjam atau P2P Lending menjadi solusi alternatif inklusi keuangan negara.
Di 2018, tercatat sebanyak Rp 15.9 triliun total dana pinjaman tersalurkan dari seluruh platform P2P Lending yang terdaftar dan diawasi OJK. Mereka memberikan layanan digital kepada masyarakat yang selama ini tidak tersentuh akses perbankan karena persoalan geografis, administrasi, biaya admin dan lainnya.
Di satu sisi, ini termasuk kabar baik bagi pemerintah, karena pertumbuhan dan pemerataan ekonomi hingga ke pelosok. Namun di sisi lain, keberadaan bank dan lembaga keuangan lain yang lebih dulu eksis terancam tutup karena ditinggal nasabah.
Alasan kedua mengapa bank syariah perlu go digital, karena kehebatan teknologi masa depan mampu mendobrak hambatan fisik dan persoalan yang selama ini dialami oleh bank dan konsumen. Alasan kedua ini ada kaitannya dengan tujuan inklusi keuangan.
Teknologi memungkinkan bank memberikan layanan keuangan lebih murah, simple, cepat, aman, dan menjangkau masyarakat kapanpun dan dimanapun mereka berada. Sehingga warga pelosok bisa menikmati berbagai layanan keuangan sama mudahnya dengan mereka yang tinggal di area perkotaan.
Bicara soal teknologi, Data science dan machine learning (AI), termasuk salah satu bagian teknologi canggih yang dipakai dalam industri perbankan. Bank syariah bisa mempelajari serta melakukan analisa informasi pelanggan untuk mengukur preferensi mereka yang sejalan dengan prinsip syariah. Sehingga nantinya akan berdampak pada inovasi pengembangan produk / layanan bank syariah.
Sementara teknologi AI mempermudah bank dalam menganalisa risiko kredit jauh lebih baik berdasarkan kumpulan data.
Merangkum laman DQLab, algoritma Machine Learning memiliki 3 kemampuan hebat untuk :
- Mendeteksi kecurangan / penipuan secara real time yang bisa menyebabkan bank merugi
- Menghadirkan layanan pelanggan non stop bagi pelanggan lewat sistem chatbot
- Melakukan segmentasi pelanggan untuk meningkatkan revenue. Jadi budget pemasaran lebih efisien, dan strategi pemasarannya tepat sasaran.
Teknologi AI akan mempengaruhi model bisnis perbankan syariah dan menciptakan potensi besar. Artinya, teknologi kecerdasan buatan meningkatkan nilai bisnis bank syariah. Ini sejalan dengan tujuan penciptaan teknologi AI, yaitu untuk memahami perilaku manusia sekaligus membuat hidup mereka lebih mudah.
Kemampuan membaca pola perilaku nasabah yang begitu banyak akan menjadikan layanan / produk bank syariah lebih revolusioner dan cepat beradaptasi dengan perubahan trend atau kebutuhan pasar.
Sekali lagi, digitalisasi pada akhirnya merupakan keniscayaan yang jadi kebutuhan primer bisnis, tak terkecuali sektor perbankan syariah.
Transformasi digital memungkinkan pengembangan produk / layanan perbankan syariah yang fokus pada pelanggan alias customer-centric.
Di lain sisi, bank syariah bisa mengembangkan proposisi atau diferensiasinya untuk menggaet lebih banyak pelanggan, dan menciptakan peluang bisnis baru yang sejalan dengan prinsip syariah.