Kebocoran data menjadi isu krusial di era digital. Perusahaan keamanan siber Surfshark mengungkap, jumlah kebocoran data pengguna di Indonesia naik 143% dari 430,1 ribu akun di kuartal I 2022 menjadi 1,04 juta akun pada kuartal II 2022. Di tahun itu juga, Indonesia menduduki peringkat tertinggi ke-3 sebagai negara dengan jumlah kasus kebocoran data terbanyak di dunia. Mengingat situasi darurat keamanan siber di Indonesia, maka penyedia layanan keuangan digital perlu segera menerapkan teknologi cloud. 

Perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat, Verizon, mencatat bahwa kasus kebocoran dialami oleh BUMN, perusahaan besar serta usaha kecil dan menengah. Hasil risetnya menyebut, dari 10 industri yang mengalami kebocoran data, sektor keuangan lah yang intensitasnya paling sering sepanjang 2021, yaitu 690 kasus. Dengan motif ekonomi, sektor keuangan menjadi korban terorganisir melalui phishing, penggunaan kredensial curian, dan malware atau ransomware.

Kepercayaan nasabah menjadi pilar utama bagi keberlangsungan operasional industri keuangan, baik bank maupun non-bank. Untuk itu, sektor perbankan perlu serius dalam mengadopsi teknologi cloud. Tujuannya tentu agar transaksi keuangan digital lebih aman. Selain faktor keamanan, teknologi cloud menawarkan fasilitas lebih mudah, praktis, cepat, dan harga terjangkau.

Apalagi, kaitannya dengan kompetisi digital-first, teknologi cloud menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan masa kini. Bisa dikatakan, teknologi cloud menjadi senjata digital penting bagi sektor perbankan untuk bisa bersaing dengan fintech, neobank, dan penyedia layanan keuangan model baru yang banyak muncul di era digital.  

Alasan lain mengapa penyedia keuangan digital perlu mengadopsi teknologi cloud karena faktor produktivitas dan efisiensi proses bisnis. Studi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan PricewaterhouseCoopers (PwC) pada 2021 menyebut, pendapatan lebih dari lima puluh persen pelaku bisnis UMKM naik 20 persen setelah mereka menggunakan cloud computing.

PwC juga memprediksi adanya peningkatan pendapatan domestik bruto Indonesia sekitar 10,7 miliar dollar AS dalam lima tahun nanti karena adanya teknologi cloud. Apalagi saat ini sudah ada 80 persen perusahaan skala besar di Indonesia yang ternyata sudah memakai cloud untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi bisnis. 

Penerapan cloud khususnya di sektor keuangan digital perlu memenuhi beberapa parameter terkait privasi dan keamanan data. Perusahaan harus lebih teliti saat proses pembangunan infrastruktur cloud agar dia tidak jadi titik lemah baru bagi sektor keuangan digital. Melansir laman Infokomputer, Direktur Eksekutif Inovasi Keuangan Digital OJK, Triyono Gani, menyebutkan lima aspek yang perlu diperhatikan oleh sektor keuangan digital dalam memilih partner layanan cloud.

Kelima aspek tersebut adalah keamanan, transparansi, aksesibilitas, manajemen, dan tidak bertentangan dengan regulasi yang ada. Pastikan penyedia cloud memiliki reputasi baik yang dibuktikan dengan kualitas serta pengalaman mumpuni di bidangnya, dan manajemen risiko. Penyedia keuangan digital perlu tahu bagaimana data-data mereka dikelola oleh pihak ketiga atau vendor, termasuk data tadi bisa diakses oleh regulator atau organisasi terkait. 

Hal yang tak kalah penting adalah penyedia layanan cloud harus mengikuti peraturan dari organisasi dan pemerintah Indonesia. Seperti aturan bagi perbankan yang harus meletakkan server cloudnya di Indonesia. Aturan itu sejalan dengan Pasal 15 ayat (3) pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yaitu menempatkan cloud dan disaster recovery center (DSC) sebagai backup data center perbankan di Indonesia.

Kesimpulannya, implementasi teknologi cloud pada sektor keuangan digital tidak lain bertujuan agar konsumen lebih nyaman dan aman saat bertransaksi digital. Untuk itu, penyedia keuangan digital perlu memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan cara menjaga privasi dan keamanan data nasabah agar tidak mudah dibobol oleh pihak ketiga. 

0 Shares:
You May Also Like