Fintech (financial technology) atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah teknologi finansial (tekfin) agaknya kini sudah tak asing lagi di telinga kita. Pasalnya, keberadaannya kini bisa dibilang semakin dekat dengan masyarakat, baik lokal maupun secara global.
Ada beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan fintech.
Jika ditarik persamaannya, fintech merujuk pada layanan/produk inovatif dalam hal layanan keuangan, yang berbasis teknologi canggih. Tak jauh berbeda, fintech syariah juga diartikan sama. Hanya saja model bisnis dan skema pelaksanaannya mengacu pada prinsip syariah.
Tren Global Fintech Syariah
Bicara soal fintech syariah, secara global kehadirannya mengalami pertumbuhan baik alias tren positif di beberapa negara. Para ahli dari Cedar Management Consulting melakukan pemetaan pertumbuhan serta prospeknya di tahun-tahun mendatang.
Mengutip laporan ‘Global Islamic Fintech Report‘, ada 5 negara yang volume transaksi fintech syariahnya paling tinggi dari negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OIC). Kelima negara tadi diantaranya Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Malaysia dan Indonesia.
Laporan Global Islamic Fintech juga memproyeksikan ada 250 lebih fintech syariah yang beroperasi secara global, baik di negara-negara OIC maupun non-OIC. Diperkirakan, secara keseluruhan volume pasar fintech syariah di negara-negara OIC nilainya mencapai $49 miliar.
Laporan Global Islamic Fintech tadi jumlahnya hanya mewakili 0,72% dari ukuran pasar fintech global saat ini berdasarkan volume transaksi. Nantinya, pasar fintech syariah di negara-negara OKI diproyeksikan tumbuh 21% CAGR menjadi $128 miliar di tahun 2025.
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan sektor fintech konvensional, yaitu 15% CAGR. Temuan data lain memperkuat bahwa perbankan syariah di beberapa negara menjadi systematically important dengan share > 15%. Artinya, share perbankan syariah meningkat di 17 negara pada tahun 2015. Sama halnya dengan negara yang perbankan syariah nya systematically important juga naik jadi 11, dari sebelumnya 10 negara (IFSB Financial Stability Report 2016).
Mundur ke belakang, fintech yang menggunakan prinsip syariah untuk pertama kalinya ada di Dubai, Uni Emirat Arab, namanya Beehive. Dia menggunakan pendekatan peer to peer lending marketplace.
Sampai saat ini, Beehive menjadi salah satu fintech syariah terkemuka di dunia yang punya cakupan pasar luas. Dari Beehive, penyebaran fintech syariah menyebar ke negara Asia, seperti Singapura dan Malaysia. Di Malaysia, fintech syariah Hello Gold muncul dengan memanfaatkan teknologi blockchain. Hello Gold mengerjakan aplikasi mobile emas pertama sesuai dengan Syariah.
Sederet fintech syariah yang jadi tren secara global seperti Wahed, pengelolaan kekayaan online sesuai syariah. Ada juga Niyah di Inggris, dan Insha di Jerman. Keduanya merupakan bank syariah yang berfokus pada mobile banking.
Sementara di tempat lain, IslamiChain menawarkan mekanisme pengiriman yang transparan dan akuntabel untuk aktivitas filantropi atau sejenisnya, menggunakan teknologi blockchain dan identitas digital yang terdesentralisasi.
Selain IslamiChain, Arab Saudi juga memiliki fintech syariah lain, Hakbah. Yaitu sebuah platform tabungan koperasi pertama. Baik IslamiChain dan Hakbah, keduanya sebenarnya lahir dari Program Akselerator Fintech DIFC. Hakbah punya perjanjian kemitraan strategis dengan Visa, beroperasi melalui Sandbox SAMA.
Berlanjut tren fintech syariah juga menyebar di Indonesia.
Menurut data OJK, perusahaan fintech di Indonesia umumnya terbagi menjadi 6 sektor. Diantaranya 1) financial planning, 2) crowdfunding, 3) lending, 4) aggregator, 5) payment, dan 6) fintech lainnya.
Sementara terkait skalanya, industri fintech di Indonesia dikelompokkan menjadi 4 jenis. Pertama, industri fintech skala besar. Contohnya ada crowdo, amartha, koinWorks, dan investree. Kedua, startup fintech, seperti doku, iPaymu, midtrans, kartuku, dan dimo. Ketiga, fintech sosial. Misalnya, wujudkan, gandengtangan, dan kitabisa. Keempat, fintech dengan tipe pasar kredit, seperti bareksa, infovesta, stockbit, indoPremier, dan indoGold.
Data menyebut, lebih dari 75% fintech syariah aktif pada layanan penggalangan dana, simpan pinjam, manajemen kekayaan, pembayaran, dan keuangan alternatif. Perlu disadari bahwa peluang perbankan digital menjadi semakin terbuka lebar.
Apalagi setelah munculnya model bisnis baru di industri keuangan berkonsep neobank. Keuangan sosial kemudian menjadi area baru yang bisa jadi peluang signifikan bagi pengembangan bisnis fintech syariah. Keuangan sosial yang dimaksud ini meliputi zakat, shodaqoh, dan wakaf.
Inklusi Perbankan Syariah
Laporan bank dunia ‘The Global Findex Database’ menyebut bahwa ada 1,7 miliar populasi unbanked secara global yang bisa dialihkan sebagai nasabah potensial untuk perbankan ritel.
Fakta lain mengungkap, lebih dari 200 juta usaha mikro, kecil, dan menengah yang membutuhkan bantuan perbankan. Maka, disinilah kehadiran fintech syariah diperlukan karena dia mampu menjangkau layanan bank dengan mengusung transformasi mobilitas teknologi, ide/inovasi, dan fleksibilitas pembayaran.
Hal menarik dari laporan Global Findex, bahwa mayoritas populasi yang tidak memiliki rekening bank berada di negara/wilayah berpenduduk Muslim. Jumlahnya hampir mencakup 50% dari populasi dunia yang tidak punya rekening bank.
Jumlah populasi unbanked people tadi kebanyakan tersebar di wilayah yang ekonominya rendah, di Afrika Sub-Sahara dan Asia. Fakta ini menjadi peluang bisnis menarik bagi fintech syariah. Dengan bantuan internet dan smartphone, mereka bisa menjangkau populasi di daerah terpencil.
Lagipula, pengenalan fintech syariah di negara berkembang dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga meningkatkan ruang lingkup regulator lokal.
Regulator lokal perlu jeli memahami implikasi hadirnya fintech syariah, sehingga bisa mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan sebagai upaya preventif untuk memproteksi masalah baru terkait serangan dunia maya, dan kebocoran atau pencurian data nasabah.
Saat ini, tidak ada badan pengatur fintech syariah yang berlaku global.
Sama dengan pengaturan jasa keuangan konvensional, penyelenggara pengaturan lembaga keuangan dan fintech syariah dilakukan secara individual di masing-masing negara.
Contohnya, Bank Negara Malaysia dan Komisi Sekuritas (Malaysia). Ada juga Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia. SAMA, berlaku di Bank Sentral Saudi dan rekan mereka di pasar Barat, seperti Financial Conduct Authority (FCA) di Inggris, yang mengatur FinTech Islam.
Meski begitu, ada standar yang diumumkan oleh Organisasi Akuntansi dan Audit untuk Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI) diikuti di 20+ negara/yurisdiksi mayoritas Muslim.
Fintech syariah berupaya untuk memberikan solusi hemat biaya bagi perusahaan, meningkatkan pengalaman pelanggan, dan mengotomatiskan proses bisnis.
Karena industri jasa keuangan termasuk sektor penting dalam masyarakat, oleh karenanya dia harus diatur secara ketat. Meski begitu, pada akhirnya inovasi, penawaran, dan manfaat pelangganlah yang akan membawa perkembangan fintech syariah , tentunya dalam sebuah ekosistem digital yang tepat.
Baik peraturan keuangan dan ketentuan syariah, keduanya harus dalam pengawasan serta arahan tepat untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup.