Tidak salah jika sebagian ahli mengatakan pandemi Covid-19 merupakan momen akselerasi transformasi digital. Apa yang seharusnya Kita alami 2-5 tahun ke depan ternyata terjadi lebih cepat. Pandemi Covid-19 bukan hanya mempercepat pertumbuhan ekonomi digital, namun juga memunculkan tren hijrah ke keuangan syariah.
Hasil riset Inventure-Alvara menyebut 58% masyarakat memilih lembaga keuangan yang berbasis syariah. Tren positif ini dipicu oleh faktor eksternal. Seperti kehadiran para pemain baru di bidang teknologi keuangan atau fintech. Apalagi, pelaku fintech hadir dengan menawarkan inovasi kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan finansial di era serba cepat ini. Fintech bahkan dipandang sebagai pesaing berat perbankan atau lembaga keuangan lain yang sistemnya masih konvensional.
Faktor kedua, karena dominasi kelompok milenial dan generasi Z. Kelompok Milenial dan gen Z hidup disaat inovasi teknologi digital berkembang. Karenanya, mereka sangat terbiasa dengan penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari hari. Mulai dari belajar, berinteraksi sosial, pengobatan, hingga akses ke berbagai layanan keuangan. Terakhir, karena faktor penetrasi internet dan teknologi informasi yang ditunjang dengan musibah Covid-19. Ketiga faktor tadi sebenarnya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Kehadiran fintech ini memang tidak bisa dihindarkan, untuk itu perbankan diharapkan terus berinovasi meningkatkan kualitas produk atau layanan yang sejalan dengan tren digital. Disamping inovasi, bank perlu juga berkolaborasi, menggandeng pelaku fintech, pemerintah, dan sektor lain yang berkaitan, dalam rangka akselerasi ekosistem digital nasional
Kondisi industri keuangan syariah Indonesia memang tumbuh positif selama 3 dasawarsa terakhir. Meski begitu, Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan dengan negara lain di dunia. Faktanya, tren pertumbuhan keuangan syariah belum sejalan dengan ketersediaan SDM, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Selain SDM, ada tantangan lain yang harus dihadapi oleh lembaga keuangan syariah dalam rangka akselerasi layanan dan produknya. Apa saja tantangan Lembaga Keuangan Syariah dalam mengikuti tren? Berikut penjelasannya.
Kemunculan fintech Islami & persoalan regulasi
Tidak jauh berbeda dengan pembahasan fintech di paragraf sebelumnya. Kehadiran fintech syariah di Indonesia menarik perhatian publik. Hal ini juga diperkuat dengan legalitas fintech syariah yang terdaftar di Otoritas Jasa dan Keuangan (OJK) serta terbentuknya Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Yaitu lembaga yang menaungi fintech syariah di Indonesia
Berdasarkan etos dan nilai syariah, fintech Islami punya peluang besar untuk menjadi pemimpin dunia finansial secara global. Kemudahan yang mereka berikan dalam hal transparansi, akses, dan penggunaan aplikasinya. Meski begitu, keberadaan fintech syariah maupun Lembaga Keuangan Syariah tidak terlepas dari berbagai tantangan. Tantangan terbesar mereka berhubungan dengan regulasi.
Dari sisi multifinance syariah, muncul tren peralihan transaksi keuangan dari konvensional ke digital selama pandemi. Karenanya, perlu ada penyesuaian model bisnis yang lebih efisien. Sementara dari sisi pasar modal syariah, perlu adanya dukungan pemerintah untuk pengembangan layanan sharia online trading system (SOTS). Hal ini dikarenakan kelambatan pertumbuhan investor saham syariah dibanding investor konvensional.
Baik fintech syariah maupun lembaga keuangan syariah, keduanya punya isu sama berkaitan dengan regulasi. Yaitu persoalan standardisasi, pengembangan regulasi, dan inovasi produk baru. Keterbatasan regulasi ini bisa menghambat langkah lembaga keuangan syariah untuk bisa mengadopsi model bisnis baru, seperti tren desentralisasi dan privasi.
Infrastruktur teknologi belum secanggih konvensional
Kebanyakan sumber menyebut jika adopsi teknologi canggih di lembaga keuangan syariah (bank syariah) saat ini belum sepenuhnya merata. Untuk mengadopsi teknologi, perbankan syariah perlu investasi modal yang cukup besar. Dilihat dari sisi teknologi, kondisi bank syariah sekarang ini berbeda-beda. Melansir dari laman resmi Komite Nasional Keuangan Syariah, bank syariah kategori Unit Usaha Syariah (UUS) melekat dengan induknya. Sehingga dia sangat tergantung dengan kondisi induknya. Jika induknya bagus, maka teknologi yang dipakai oleh UUS sudah lebih maju. Sebaliknya, UUS milik BPD mengalami kesulitan dari sisi teknologi. Begitu juga dengan bank syariah yang sudah spin off. Mereka harus mengeluarkan modal besar untuk mengadopsi teknologi terbaru.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa baik bank konvensional maupun syariah, keduanya sama-sama perlu mengadopsi teknologi digital sejalan dengan perubahan tren. Hanya saja, keduanya berbeda ditinjau dari sisi tujuan alias target utama yang ingin diraih. Fokus utama bank konvensional adalah mencari keuntungan sebesarnya. Sementara tujuan lembaga keuangan syariah mengadopsi teknologi adalah untuk pemerataan distribusi kekayaan kepada masyarakat.
Teknologi modern diharapkan mampu mengoptimasi produk dan layanan dari lembaga keuangan syariah. Dengan begitu ekonomi dan keuangan syariah semakin tumbuh, setidaknya sejajar dengan lembaga keuangan konvensional yang jauh lebih unggul dari sisi teknologi. Lembaga keuangan syariah diharapkan bisa lead, efisien, dan cost efektif. Pemerintah melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menggandeng para stakeholder untuk pembangunan ekosistem digital syariah. Mereka membangun linkage yang mengaitkan para pelaku industri halal dengan lembaga penyaluran dana.
Jadi, pelaku industri halal bisa dengan mudah dan cepat mendapatkan pembiayaan bukan hanya dari perbankan syariah, tapi juga bisa dari fintech syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Dengan begitu, masyarakat Indonesia tidak lagi memandang ekonomi dan keuangan syariah secara eksklusif, namun juga harus inklusif. Semua produk dan layanan dari lembaga keuangan syariah dengan mudah menjangkau seluruh segmen ekonomi di masyarakat, bahkan hingga ke pelosok area.