Sebagian pakar menyebut, seruan boikot produk Israel dan negara-negara yang mendukung zionisme bisa jadi peluang bagi produsen serta pelaku UMKM lokal untuk tampil. Bahkan, pemerintah turut optimis bahwa aksi boikot menjadi kesempatan bagi produk lokal untuk menguasai pasar dalam negeri bahkan menembus pasar global. Mungkinkah gerakan boikot produk Israel bisa jadi peluang emas bagi produk lokal untuk merebut pasar dalam sekaligus luar negeri? 

Aksi boikot produk-produk pendukung Israel merebak ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina yang mewajibkan dukungan bagi negeri para nabi itu. MUI mengharamkan Muslim untuk membeli produk dari produsen yang secara nyata terafiliasi dan mendukung agresi Israel ke Palestina.

Mengutip laman Republika, konsultan bisnis dan pakar marketing Yuswohady menilai, aksi boikot produk Israel dan negara yang berafiliasi dengannya menjadi momentum bagi produk lokal, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk menguasai pasar. Namun, pelaku usaha atau brand lokal harus melakukannya dengan cara elegan. Misalnya, membangun pendekatan emosional konsumen dengan warga Palestina. Aksi nyata yang bisa dilakukan seperti menyumbangkan sekian persen dari keuntungan usaha untuk donasi ke Palestina. 

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menyebut jika produk lokal bisa menembus pasar global dengan membawa nilai-nilai isu sosial dari produknya. Menurut Teten, gerakan konsumen dunia bukan sekedar bicara produk murah, dan berkualitas. Mereka harus mengandung 3 nilai, yaitu profit, people, dan planet. 

Selain itu, pelaku usaha juga bisa berinovasi agar produknya menjadi setara dengan produk terafiliasi Israel, bahkan bisa lebih. Nyatanya, tak sedikit produk lokal yang punya kualitas sebanding dengan produk luar, hanya saja biasanya produk lokal tidak cukup populer dari sisi branding. Sebagian pakar menyebut, aksi boikot produk yang terafiliasi dengan Israel akan berdampak besar jika masyarakat dengan mudah menemukan produk alternatif dengan kualitas setara. 

Gerakan boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) faktanya memberikan dampak nyata bagi perusahaan, minimal pendapatan kotornya menurun.  Kabarnya, saham sejumlah produk pro Israel mengalami fluktuasi. Misal, saham Starbucks turun dan sempat ditutup di harga 91,35 dolar AS per saham pada Rabu (1/11/2023). Begitu juga McDonald’s yang sahamnya sempat anjlok di angka terendah 245,5 dolar AS pada 27 Oktober lalu. Saham Unilever juga sempat turun di harga 46,26 dolar AS pada 27 Oktober lalu. 

Perlu disadari bahwa peralihan penggunaan produk dalam negeri tidak bisa berjalan cepat. Hal ini mengingat tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap produk-produk asing yang skalanya sudah besar. Selain itu, UMKM dan produk lokal perlu melakukan beberapa pembenahan seperti kualitas produk, kapasitas produksi, dan pelayanan. Untuk itu, pemerintah masih fokus untuk meningkatkan kualitas produk dan kapasitas produksi UMKM. 

Mereka berkolaborasi dengan berbagai pihak swasta untuk mengembangkan UMKM dari hulu-hilir. Misalnya dari proses produksi, pembuatan pabrik bersama, pembiayaan berbasis klaster, penguatan model bisnis agregator, dan produk akhir. Meski begitu, jika aksi boikot berjalan dalam jangka waktu cukup lama, ada kemungkinan muncul gelombang PHK besar-besaran. Jika tidak dimitigasi dengan baik, justru akan memunculkan masalah baru bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

0 Shares:
You May Also Like